KABUPATEN SINJAI dahulu terdiri dari beberapa kerajaan-kerajaan, seperti kerajaan-kerajaan yangtergabung dalamfederasi TELLU LIMPOE dan kerajaan-kerajaan yangtergabung dalam PITU LIMPOE. TELLU LIMPOE terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berada dekat pesisir pantai yaitu Kerajaan Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti, sedangakn PITU LIMPOE adalah kerajaan-kerajaan yang berada di dtaran tinggi yaitu Kerajaan Turungeng, Manimpahoi, Terasa,Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.
Dalam lontara susunan raja-raja yang ada di Sinjai pada masa lampau, bahwa yang pertama menjadi Raja dan Arung ialah Manurung Tanralili, yang kemudian dikenal dengan gelar TIMPAE TANA atau TO PASAJA. Keturunan Puatta Timpae Tana atau To PASAJA merupakan cikal bakal dan pendiri Kerajaan Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti. Adapun kerajaan yang pertama berkembang di wilayah PITU LIMPOE adalah KerajaanTurungeng, Rajanya adalah seorang wanita yang diperistrikan oleh Putra Raja Tallo.
Salah seorang wanita kawin dengan seorang putra Raja Bone, dari perkawinan itu lahirlah tujuh orang anak, yaitu seorang anak wanita dan enam orang laki-laki. Anak yang wanita kemudian menggantikan ibunya memerintah di Turungeng, sementara yang lain ada di Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.
Bila ditelusuri hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai dimasa lalu, maka nampaklah dengan jelas bahwa ia terjalin dengan erat oleh tali kekeluargaan yang dalam bahasa bugis disebut SIJAI artinya sama jahitannya. Hal ini lebih diperjelas dengan adanya gagasan dari LAMASSIAJENG Raja Lamatti X untuk memperkokoh bersatunya antara kerajaan Bulo-bulo dengan Lamatti dengan ungkapannya PASIJAI SINGKURENNA LAMATTI BULO-BULO artinya satukan keyakinan Lamatti dengan Bulo-bulo, sehingga setelah meninggal dunia beliau diberi gelar PUATTA MATINROE RISIJAINA.
Eksistensi dan identitas kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai di masa lalu semakin jelas dengan didirikannya benteng pada tahun 1557. Benteng ini dikenal dengan nama BENTENG BALANGNIPA sebab didirikan di Balangnipa, yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Sinjai.
Disamping itu, benteng inipun dikenal dengan nama BENTENG TELLU LIMPOE, karena didirikan secara bersama-sama oleh 3(tiga) kerajaan, yakni Lamatti, Bulo-bulo dan Tondong, lalu dipugar oleh Belanda.
Tahun 1564 adalah tahun yang amat bersejarah bagi daerah Sinjai yang diwakili oleh kerajaan Bulo-bulo yang mendapat banyak kunjungan dari dua kerajaan besar yang sedang berperang dan berebut pengaruh.hal ini disebabkan karena letak daerah Sinjai yang berada pada daerah lintas batas dan sangat strategis bagi kedua kerajaan yakni Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.
Mengingat bahwa kedua kerajaan yang sedang berperang tersebut mempunyai hubungan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan Sinjai, maka TELLLU LIMPOE dan PITU LIMPOE berupaya untuk tidak memihak atau terlibat dalam perang tersebut, bahkan dengan penuh kecerdikan dan kearifan, raja-raja di Sinjai berusaha mempertemukan pimpinan kerajaan tersebut agar berunding dan berdamai.
Akhirnya pada bulan Februari 1564, RAJA BULO-BULO VI LA MAPPASOKO LAO MANOE TANRUNNA berhasil mempertemukan antara Kerajaan Gowa yang diwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMMETA dengan LA TENRI RAWE BONGKANGNGE dari Kerajaan Bone, disaksikan oleh raja-rajalain, sehingga lahirlah perjanjian perdamaian yang kemudian dikenal dengan PERJANJIAN TOPEKKONG atau LAMUNG PATUE RITOPEKKONG.
Disebut LAMUNG PATUE RITOPEKKONG karena perundingan ini dilaksanakan dengan upacara penanaman batu besar, bagian batu yang dikuburkan dalamdalam dimaksudkan sebagai simbol dikuburkannya sikap-sikap keras yang merugikan semua pihak, sedang bagian batu yang timbul sebagai simbol persatuan yang tidak mudah bergeser.
Isi PERJANJIAN TOPEKKONG adalah
1. Madumme to sipalalo
Mabelle to Siparoso
Seddi Pabbanua pada rappunnai Lempa asefa mappanessa
2. Musunna Gowa musunna to Bone na Tellulimpoe
Makkutopi assibalirenna
3. Sisappareng deceng teng sisappareng ja’
Sirui menre teng sirui no’
Malilu sipakainge mali siparappe
Artinya adalah :
1. Saling mengisinkan dalam mencari tempat bernaung
Saling memberi kesempatan dalam mencari ikan
Satu rakyat milik kita semua
Kemanalah padinya dibawa itulah yang menentukan
(Kerajaan mana yang dipilihnya)
2. Musuh Kerajaan Gowa juga musuh Kerajaan Bone dan Tellulimpoe
Demikian pula sebaliknya
3. Saling memberikan kebaikan bukan kejahatan
Saling bantu membantu tidak saling mencelakakan
Yang lupa diri diingatkan, yang hanyut diselamatkan.
Tahun 1636 orang Belanda mulai datang ke daerah Sinjai. Kerajaan-kerajaan di Sinjaimenentang keras upaya Belanda untuk mengadu domba dan memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Hal ini mencapai puncaknya dengan terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Belanda yang mencoba membujuk Kerajaan Bulo-bulo untuk melakukan perang terhadap kerajaan Gowa. Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat tanggal 29 Pebruari 1639 bertepatan dengan tanggal 22 Ramadhan 1066 Hijriah, karena rakyat Sinjai tetap
berpegang teguh pada perjanjian Topekkong.
Tahun 1824 Gubernur Jendral Hindia Belanda Van der Capellen datang dari Batavia membujuk I Cella Arung Bulo-bulo XXI agar menerima perjanjian Bongaya dan mengijinkan Belanda mendirikan Loji atau Kantor dagang di Lappa tetapi ditolak dengan tegas. Belanda menyerang Sinjai di bawah pimpinan Jendral Van Green dan Kolonel Biischaff. Pasukan Sinjai di bawah pimpinan Andi Mandasini dan Baso Kalaka berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Tahun 1859 Belanda dengan pimpinan Jendral Van Swiaten kembali mengadakan serangan besar-besaran ke Sinjai, baik melalui laut maupun darat. Oleh karena kekuatan yang tidak seimbang maka akhirnya Sinjai direbut oleh Belanda. Tanggal 15 November 1861 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi dan Daerah, taklunya wilayah Tellu Limpoe Sinjai dijadikan satu wilayah pemerintahan dengan sebutan GOSTER DISTRICTEN.
Tanggal 24 Pebruari 1940, Gubernur Grote Gost menetapkan pembagian administratif untuk daerah timur termasuk Residensi Celebes, dimana Sinjai bersamasama beberapa kabupaten lainnya berstatus sebagai Onther Afdeling Sinjai terdiri dari beberapa Adats Gemenchap, yaitu cost Bulo-bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Bulo-bulo, Manipi dan Turungeng.
Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan dan namanya ditata sesuai kebutuhan bala tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng. Dalam kancah perjuang kemerdekaan menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945, para rakyat Kabupaten Sinjai membentuk berbagai organisasi perlawanan seperti Sumber Darah Rakyat atau SUDARA, Kris Muda dan lain-lain. Pentai-pantai yang ada di Sinjai menjadi transit bagi para pejuang kemerdekaan yang akan ke Jawa dan sebaliknya.
Tanggal 20 Oktober 1959 Sinjai Sinjai resmi menjadi Kabupaten berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1959. dan tanggal 27 Pebruari 1960 Abdul Latif dilantik menjadi Kepala Daerah Tingkat II Sinjai yang pertama.